Hukum Memanfaatkan Barang Gadai (Rahn)

Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang menanyakan hukum memanfaatkan barang yang sedang digadaikan. Seperti halnya yang berkembang di masyarakat pedesaan, seseorang meminjam uang kepada teman atau orang lain, kemudian orang itu meminjamkan sejumlah uang kepadanya dengan syarat sawahnya harus digadaikan. Selama masa peminjaman orang yang meminjamkan tadi memanfaatkan hasil sawah yang digadaikan, atau paling tidak dia mendapatkan setengah dari hasil sawah tersebut. Ini semua berlangsung atas kesepakatan mereka berdua. Bagaimana hukum bentuk pegadaian seperti ini dan sejenisnya ?
    Tulisan di bawah ini, mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan di atas, tapi sebelumnya perlu diterangkan secara umum tentang hukum-hukum yang terkait dengan pegadaian dalam Islam.
Pengertian Gadai 
Gadai dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Ar-rahn yang berarti : al-tsubut  (tetap) dan al-habs (tahanan). (Muhammad Abu Bakar ar-razi, Mukhtar as Shihah, Kairo, Dar al Hadist, 2002 M, hlm: 151).  Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala: "Tiap-tiap diri bertanggung jawab  (tertahan )  atas apa yang telah diperbuatnya." ( Qs Al Mudatsir: 38 ).
Adapun Gadai secara Istilah bisa diartikan: pinjam meminjam uang dengan menyerahkan barang dan dengan batas (bila telah sampai waktunya tidak ditebus, barang tersebut menjadi hak orang yang memberi pinjaman). (WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, 1976, hlm. 286 ).  
Dalam literatur Fiqh, Gadai (ar Rahn) diartikan dengan : menjadikan barang sebagai jaminan dari hutang, sebagai pengganti jika hutang tersebut tidak bisa dibayar ( al Khotib asy Syarbini, Mughni al Muhtaj, Beirut Dar Al Kutub al Ilmiyah, juz :3, hlm : 38 )
 Dasar Pegadaian adalah firman Allah Ta’ala: " Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."  (Qs Al- Baqarah : 283)

Dalil dari as-sunnah adalah hadist Aisyah Ra, bahwasanya ia berkata : " Bahwasanya  Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi yang akan dibayar pada waktu tertentu di kemudian hari dan beliau menggadaikannya dengan baju besinya."  (HR Bukhari, no 1926) 

Hukum Gadai
Mayoritas ulama berpendapat bahwa gadai itu dibolehkan , baik pada waktu tidak bepergian dan waktu bepergian, baik ada penulisnya atau tidak ada, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. yang menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di Madinah.
Adapun Mujahid dan Madzhab Dhohiriyah berpendapat, bahwa gadai itu tidak dibolehkan  kecuali pada saat bepergian dan pada saat tidak ada petugas yang menulsi transaksi tersebut. Dalil mereka adalah firman Allah Ta’ala  Qs. al-Baqarah ayat 283 di atas ( al Mawardi, al Hawi al Kabir, Beirut Daar Al Kutub Al Ilmiyah, Juz : 6 , hlm : 4-5 )
Hukum Menggunakan Barang Gadaian.
Ada dua pihak yang menggunakan barang gadaian :
Pertama : Jika yang menggunakan barang gadaian itu adalah orang yang menerima gadai. Ini mempunyai tiga keadaan :
Keadaan Pertama : Jika penerima gadai (murtahin) menggunakan barang gadaian tersebut tanpa imbalan standar, maka hal itu diharamkan karena termasuk dalam katagori riba.  Berkata Ibnu Qudamah:  "Jika ar-rahin (pemilik barang gadai)  mengijinkan bagi murtahin (pemegang gadai) untuk memanfaatkan barang gadai tersebut tanpa ada imbalan, sedang ar rahin berhutang kepada  al murtahin, maka hal ini tidak boleh, karena hutang yang memberikan manfaat bagi yang memberikan utang, sehingga masuk dalam katagori riba. "( Al-Mughni : 4/431 )
Keadaan Kedua : Jika murtahin memanfaatkan barang gadai tadi dengan imbalan yang standar, maka para ulama berbeda pendapat: mayoritas ulama tidak membolehkannya, sedang Madzhab Hanabilah membolehkannya, karena yang demikian itu masuk dalam katagori akad sewa, dan bukan termasuk memanfaatkan barang gadaian
Keadaan Ketiga : Jika barang gadai tersebut membutuhkan biaya perawatan, maka biayanya ditanggung oleh ar-rahin (pemilik gadai tersebut). Jika pegadai tidak memberikan biaya perawatan, maka penerima gadai yang mengeluarkan biaya perawatan, tetapi dia dibolehkan untuk menaikinya sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya. Dalilnya adalah hadist Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "(Hewan) boleh dikendarai jika digadaikan dengan pembayaran tertentu, susu hewan juga boleh diminum bila digadaikan dengan pembayaran tertentu, dan terhadap orang yang mengendarai dan meminum susuny, ia wajib membayar". (HR Bukhari, no : 2329). Itu adalah pendapat sebagian ulama Hanabilah, tetapi mayoritas ulama tidak membolehkannya karena baranggadaian tersebut bukan milik pemegang gadai. (Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid, Beirut, Dar Al Kutub al Ilmiyah, 1988 :Juz : 2, hlm : 276).  
 Adapun hadist di atas dianggap mansukh dengan hadist Ibnu Umar yang menyatakan bahwa  tidak dibolehkan memerah susu kambing orang lain,kecuali dengan ijinnya. Bahkan Imam Mawardi menyatakan bahwa hadist di atas tidak ada kata-kata yang menerangkan bahwa yang menaiki dan memanfaatkan barang gadaian tersebut adalah pemegang gadai ( al murtahin). Berkata Imam Mawardi: "Dalam hadist di atas diterangkan bahwa biaya perawatan dibebankan kepada yang menaiki dan meminum susunya, padahal kewajiban perawatan dibebankan kepada rahin (yang menggadaikan) bukan kepada murtahin (yang menerima gadai). "(Al Hawi al Kabir: 6/14) Hal senada disampaikan juga oleh Ibnu Rusydi di dalam Bidayat al Mujtahid : 2/ 276 : "Tidak benar kalau diartikan bahwa yang menaiki dan yang memerah susunya adalah pemegang gadai (al murtahin). "
     Kedua: Jika yang menggunakan barang gadaian itu adalah pemiliknya (ar rahin).
Mayoritas ulama membolehkan  pemilik barang gadai untuk menggunaan barang gadaian,  jika hal itu tidak mengurangi harga barang tersebut, seperti menempati  rumahnya sendiri yang digadaikan, atau menaiki kudanya yang digadaikan. Tetapi menurut mayoritas ulama pemilik tersebut harus meminta ijin kepada murtahin (pemegang gadai). Adapun ulama Syafi'yah membolehkankannya secara mutlak, walaupun tanpa ijin murtahin (pemegang gadai).
Dalil kelompok ini adalah sabda Rasululla SAW: Pegadaian tidak boleh ditutup dari pemiliknya, pemiliklah yang akan mendapatkan keuntungan dan menerima kerugian dari barangtersebut". (HR Ibnu Majah dan Malik dan di hasankan oleh Imam Suyuti). Sedangkan madzhab Malikiyah tidak membolehkan ar rahin (pemilik gadai) untuk memnfaatkan barang gadaiaannya secara mutlak, walaupun dengan ijin pemegang gadai .
 KESIMPULAN
     Dari pembahasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa tidak boleh pemegang gadai memanfaatkan barang gadaian seperti sawah, motor, dan lain-lain, dalam bentuk apapun juga walaupun sudah diijinkan pemiliknya, karena hal itu termasuk riba yang diharamkan dalam Islam. Kecuali jika barang gadaian tersebut perlu biaya perawatan sedang pemiliknya tidak mau mengeluarkan biaya  perawatan, sehingga biayanya  dibebankan kepada pemegang gadai, dalam keadaan seperti ini, menurut sebagian kecil ulama, dibolehkan pemegang gadai memanfaatkan barang gadaian tersebut sebesar biaya perawatan yang dikeluarkan. Tetapi mayoritas ulama tetap mengharamkannya secara mutlak.  
     Hal yang serupa pernah ditanyakan oleh para ulama yang terkumpul dalam Lajnah Daimah untuk Fatwa di Arab Saudi (14/177) dan mereka menyatakan bahwa hukumnya haram, karena termasuk dalam katagori riba.  Wallahu A'lam. oleh [DR. Ahmad Zain an-najah, M.A]

pustaka: http://ddiijakarta.or.id/index.php/buletin/jan11/183-jan11.html

Keutamaan Membaca Al-Quran


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah swt dan mendirikan sembahyang dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengaan diam-diam dan terangterangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah swt menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari anugerah-Nya. Sesungguhnya Allah swt Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS Fathiir 35:29-30)
“Sebaik-baik kamu ialah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (Riwayat Al-Bukhari)
“Orang yang membaca Al-Qur’an sedangkan dia mahir melakukannya, kelak mendapat tempat di dalam Syurga bersama-sama dengan rasul-rasul yang mulia lagi baik. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an, tetapi dia tidak mahir, membacanya tertegun-tegun dan nampak agak berat lidahnya (belum lancar), dia akan mendapat dua pahala.” (Riwayat Bukhari & Muslim)

“Perumpamaan orang mukmin yang membaca Al-Qur’an adalah seperti buah Utrujjah yang baunya harum dan rasanya enak. Perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah kurma yang tidak berbau sedang rasanya enak dan manis. Perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur’an adalah seperti raihanah yang baunya harum sedang rasanya pahit. Dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an adalah seperti hanzhalah yang tidak berbau sedang rasanya pahit.” (Riwayat Bukhari & Muslim)

“Sesunggunya Allah swt mengangkat derajat beberapa golongan manusia dengan kalam ini dan merendahkan derajat golongan lainnya.” (Riwayat Bukhari & Muslim)

“Bacalah Al-Qur’an karena dia akan datang pada hari Kiamat sebagai juru syafaat bagi pembacanya.” (Riwayat Muslim)

“Tidak bisa iri hati, kecuali kepada dua seperti orang: yaitu orang lelaki yang diberi Allah swt pengetahuan tentang Al-Qur’an dan diamalkannya sepanjang malam dan siang; dan orang lelaki yang dianugerahi Allah swt harta, kemudian dia menafkahkannya sepanjang malam dan siang.” (Riwayat Bukhari & Muslim)

“Barangsiapa membaca satu huruf Kitab Allah, maka dia mendapat pahala satu kebaikan sedangkan satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim satu huruf, tetapi Alif, satu huruf dan Lam satu huruf serta Mim satu huruf.” (Riwayat At-Tirmidzi)

Rasulullah saw bersabda, Allah berfirman:
“Barangsiapa disibukkan dengan mengkaji Al-Qur’an dan menyebut nama-Ku, sehingga tidak sempat meminta kepada-KU, maka Aku berikan kepadanya sebiak-baik pemberian yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta. Dan keutamaan kalam Allah atas perkataan lainnya adalah seperti, keutamaan Allah atas makhluk-Nya. (Riwayat Tirmidzi)

“Sesungguhnya orang yang tidak terdapat dalam rongga badannya sesuatu dari Al-Qur’an adalah seperti rumah yang roboh.” (Riwayat Tirmidzi)

“Dikatakan kepada pembaca Al-Qur’an, bacalah dan naiklah serta bacalah dengan tartil seperti engkau membacanya di dunia karena kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca.” (Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’I)

“Barangsiapa membaca Al-Qur’an dan mengamalkan isinya, Allah memakaikan pada kedua orang tuanya di hari kiamat suatu mahkota yang sinarnya lebih bagus dari pada sinar matahari di rumah-rumah di dunia. Maka bagaimana tanggapanmu terhadap orang yang mengamalkan ini.” (Riwayat Abu Dawud)

Abdul Humaidi Al-Hamani, berkata: “Aku bertanya kepada Sufyan Ath-Thauri, manakah yang lebih engkau sukai, orang yang berperang atau orang yang membaca Al-Qur’an?” Sufyan menjawab: “Membaca Al-Qur’an. Karena Nabi saw bersabda. ‘Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”

Imam An-Nawawi
pustaka: http://penyegarhati.com/2009/08/keutamaan-membaca-al-quran/

BThemes